Saturday, December 27, 2008

Sukses dalam dunia Penulisa : Gregorius Agung: Saya Yakin Seratus Persen Bisa Hidup dari Menulis

Naskah Asli : http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=975&page=1

16 September 2007 - 12:49 (Diposting oleh: Editor)

Anak muda yang satu ini bisa dibilang merupakan contoh sukses di bidang penulisan. Fokus dalam penulisan buku-buku komputer menjadikan Gregorius Agung seorang penulis buku komputer terkemuka di Tanah Air. Bukan itu saja, ia bahkan mampu mendirikan Jubilee Enterprise, sebuah perusahaan media content provider yang memasok penerbit dengan naskah-naskah buku komputer terbaru. Tak kurang dari 12 karyawan/penulis dipekerjakannya di bisnis tersebut. Dan, dalam kurun tiga bulan terakhir (Mei-Agustus 2007) tak kurang dari 40 judul buku telah ditulis untuk penerbit buku.


Di saat banyak penulis jatuh pesimis dengan dunia penulisan dan penerbitan—yang antara lain ditandai dengan “keyakinan” bahwa mustahil penulis bisa hidup dari hanya menulis, Gregorius Agung maju dengan bantahan yang konkrit. Greg, demikian nama panggilannya, justru mampu menjadikan dunia tulis-menulis sebagai sebuah industri yang benar-benar menguntungkan. Itu sebabnya, dia yakin seratus persen, setiap penulis mampu melakukannya.

Greg, yang beristrikan Mona Sondakh dan telah dikaruniai seorang putera bernama Vincentio Rexel Sultandhani, ini memulai karir menulisnya sejak masih berstatus mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sukses dengan buku pertamanya, Membuat Homepage Interaktif dengan CGI/Perl, Greg seperti “kesetanan” dalam menulis buku komputer. Sejak itu, enam hingga delapan buku berhasil dia tulis tiap bulannya.... Luar biasa! Greg membuktikan, menulis bisa memberikan kesejahteraan. Sesuatu yang masih sering dianggap mustahil di Indonesia. Berikut petikan wawancara Edy Zaqeus dari Pembelajar.com dengan Gregorius Agung via email baru-baru ini:

Bisa diceritakan proses belajar menulis Anda, belajar dari siapa, mulai kapan, dan bagaimana caranya?
Kebetulan, saya punya guru SMA yang sangat saya kagumi. Nama beliau St. Kartono, yang saat itu menjabat Wakil Kepala Sekolah SMU Kolese De Britto. Dari didikan beliaulah saya memiliki minat yang tinggi tentang dunia penulisan. Gaya mengajarnya menyenangkan. Pernah saat saya duduk di kelas 1, ketika itu di tahun 1994, guru saya tersebut menyuruh kami semua menulis karangan deskripsi tentang dirinya. Pas karangan saya diperiksa, mendadak dia berdiri dan memberi aba-aba untuk menenangkan seluruh kelas yang agak ribut. “Coba dengar tulisan yang dibuat si Greg. Jika Pak Kartono berjalan, langkahnya cepat dan lebar...,” kata guru saya yang juga penulis artikel di media massa tersebut, mengulangi tulisan deskripsi yang saya tulis.

Kalau saya berjalan seperti ini,” Pak Kartono pun memperagakan orang yang melangkah cepat dan kakinya melangkah maju ke depan, “...maka itu disebut, langkahnya cepat dan...” Sekejap kelas pun terhening, “Panjaannng...,” sambungnya. “Kalau Greg menulis langkahnya cepat dan lebar, maka jalannya seperti ini...,” Pak Kartono pun memeragakan orang yang terkena ambeien atau baru sunatan sedang berjalan mekangkang! Seluruh kelas pun terbahak!

Waktu saya mengambil karangan tersebut, Pak Kartono tersenyum sinis sambil mewanti-wanti,”Kalau pilih kata yang hati-hati ya...!” Dari sinilah, saya menarik benang merah bahwa menulis itu menyenangkan dan bisa bikin satu kelas riuh rendah.

Kapan pertama kali menulis untuk tujuan komersial?
Sejak artikel pertama saya di Kedaulatan Rakyat dimuat, saat itu tujuan sebenarnya sudah komersial. Tapi puncaknya dimulai pada tahun 1999 ketika masih semester awal di perguruan tinggi. Saya punya keberanian untuk menulis buku komputer pertama kali yang langsung ditujukan ke PT Elex Media Komputindo. Saat itu, internet masih fresh from the oven dan tema buku yang saya buat berkaitan dengan pemrograman internet.

Bagaimana ceritanya sampai Anda terjun menjadi penulis spesialis buku-buku komputer?
Buku pertama saya berjudul Belajar Sendiri Membuat Homepage Interaktif dengan CGI/Perl, diterbitkan kalau tidak salah Mei 1999. Uniknya, saat saya mengajukan proposal penulisan buku tersebut, redaksi Elex langsung setuju. Setelah diterbitkan, dua bulan langsung ludes. Padahal, cetakan pertama saat itu 5.000 eksemplar. Jadilah buku tersebut bestseller. Dari situ, saya menemukan dunia penulisan buku komputer yang kemudian saya sambung dengan menulis buku Frontpage 2000 Webbot yang juga diterbitkan oleh Elex Media.

Sering menemui kendala-kendala dalam menulis buku-buku komputer?
Sejauh ini tidak.

Sampai sekarang, berapa banyak buku sudah Anda tulis?
Sudah tidak terhitung lagi. Jubilee Enterprise sendiri sudah menerbitkan 40 judul buku baru dalam rentang Mei 2007 sampai Agustus 2007. Belum judul-judul yang telah diterbitkan sebelumnya. Wah, tak terhitung lagi deh.

Buku mana yang paling mengesankan Anda?
Buku pertama sangat mengesankan, bukan saja karena buku tersebut adalah debut awal, tapi tingkat penjualannya yang fantastis membuat arah penulisan saya menjadi lebih jelas. Selanjutnya, proses penulisan buku menjadi lebih mengalir karena menjadi sudah terbiasa dengan dunia komputer.

Dari royalti buku-buku Anda, rata-rata rupiah Anda terima setiap semesternya?
Syukurlah, sampai sekarang saya dan Jubilee Enterprise masih menampuk pemegang royalti terbesar untuk kategori buku komputer dari penerbit Elex Media. Dari royalti tersebut, saya bisa mempekerjakan 12 pegawai yang hanya berkonsentrasi di dunia penulisan saja. Jadi kira-kira bisa dibayangkan sendiri, berapa yang kami dapat he he he.

Anda benar-benar yakin bisa hidup layak dari menulis?
Yakin seratus persen. Ada sentilan yang unik ketika saya selesai mengisi acara Kompas Gramedia Fair pada bulan Mei 2006 lalu. Saat itu, saya ditraktir oleh Manajer dan Redaksi Elex Media di Starbucks Coffee. Sembari menyeruput kopi yang menurut saya agak aneh rasanya, saya berdiskusi dengan Mas Arie, Manajer Redaksi, tentang dunia buku. Saat itu, beliau sempat berkata bahwa selama ini dia belum menemukan contoh kasus di mana orang bisa hidup layak hanya dari menulis saja. Ketika saya dan Jubilee Enterprise melakukan agresi penulisan buku, beliau ikut-ikutan yakin bahwa hidup makmur dari menulis bisa diraih.

Seorang Jenar Maesa Ayu sekalipun, dalam sebuah tayangan televisi, menyatakan, “Sulit bisa hidup hanya dari menulis.” Komentar Anda?
Kalau bicara tentang kemampuan diri sendiri, sepertinya pernyataan di atas sungguh tepat. Terlebih jika ia adalah penulis buku yang membidik segmen pasar yang sangat spesifik, misalnya sastra idealis atau buku anak-anak. Tetapi kalau kita berkolaborasi dengan orang lain untuk membuat buku, maka ceritanya bisa lain. Kita ambil contoh, seorang penulis sastra bisa pula menulis buku manajemen dan laku keras! Bagaimana caranya? Gampang saja. Ajak orang yang pintar teori atau praktik manajemen, dan tulislah pengalaman atau buah pikirannya itu. Kemudian, tawarkan ke penerbit.

Tapi bukan berarti teknik ini jauh dari risiko. Tantangannya menjadi sangat berbeda. Biasanya, penulis adalah pekerjaan yang individualistis. Sementara kalau bekerja sama dengan orang lain, otomatis sudah menjadi pekerjaan tim. Ini tidaklah mudah karena masing-masing punya ego, cara bekerja, dan pandangan yang berbeda yang acapkali di lapangan, perbedaan itu mudah mengancam jalannya proses penulisan buku. Tapi kalau berhasil, pendapatan dari penjualan buku sangatlah tinggi dan dia bisa hidup makmur dari metode di atas. Jika teknik di atas diulang ratusan kali, maka pernyataan “sulit bisa hidup hanya dari menulis” bolehlah dikoreksi.

Menurut pengalaman Anda, apa saja yang harus disiapkan, dilakukan, dan dibiasakan agar penulis bisa hidup layak dari menulis?
Pertama-tama, ubahlah mindset bahwa menulis hanyalah profesi sampingan. Jadikan menulis sebagai profesi utama sehingga pikiran kita selalu fokus untuk mencari ide-ide baru yang brilian dan marketable. Keuntungan fokus lainnya adalah, jika kita dihadang masalah, maka otak kita hanya seratus persen digunakan untuk menghancurkan atau mengatasi masalah itu. Dan yang terpenting, kita bisa menemukan cara kerja yang paling praktis untuk membuat buku secara konsisten. Saat ini, saya belum menemukan penulis, terutama buku komputer, yang concern terhadap penulisan buku saja. Kebanyakan, mereka masih menyambi sebagai dosen atau pengajar.

Pandangan Anda terhadap statement bahwa seorang penulis harus mampu “menjual” diri dan gagasannya?

Menjual gagasan sangat penting karena buku adalah gagasan kita. Kalau gagasannya jelek, bukunya nggak ada yang mau beli. Untuk yang satu ini, tidak perlu dibahas lagi karena core buku adalah ide atau gagasan. Sedangkan kalau bisa “menjual” diri, itu relatif. Jika ingin sukses, “menjual” diri itu penting baik dengan cara menjadi pembicara seminar, pengajar, atau konsultan. Tapi di dunia buku komputer, fenomenanya agak nyentrik. Orang beli buku komputer karena butuh. Jadi, walaupun si pengarang ngetopnya bukan main, tapi kalau bukunya nggak dibutuhkan, maka penjualannya pun tidak terdongkrak. Tapi mengenai hal ini, sifatnya masih bisa diperdebatkan karena belum ada penelitian yang spesifik.

Selain keuntungan royalti, hal apa saja yang Anda raih dari menulis?
Buku yang saya tulis bisa diibaratkan “kartu akses” untuk memasuki “wilayah” tertentu. Saya ambil contoh, beberapa bulan yang lalu saya berkeinginan mengajar Photoshop level advance di salah satu lembaga kursus paling top dan bergengsi yang kebetulan buka cabang di Yogyakarta. Karena saya sudah membuat banyak sekali buku Photoshop, maka tidak butuh surat lamaran, referensi, fotokopi ijazah, dan atribut-atribut lamaran lainnya untuk bergabung menjadi pengajar di lembaga kursus tersebut. Malah untuk honornya, bisa dinegosiasi he he he. Selain itu, saya juga punya kenalan orang-orang perbukuan dan pihak-pihak yang bergerak di industri software. Pernah ketika mengadakan seminar di UPH, salah satu petinggi Microsoft mentraktir kami makan siang sambil membahas kecanggihan Office 2007. Ini merupakan pengalaman yang menarik.

Bisa Anda tambahkan tentang Jubilee Enterprise?
Jubilee Enterprise merupakan hasil dari konsep industrialisasi penulisan yang telah saya pikirkan sejak lama. Awalnya, Jubilee Enterprise bergerak di bidang web design karena saat didirikan tahun 1999, era dotcom sedang seru-serunya. Tapi karena merasa bahwa bidang ini tidak menantang, maka saya ubah menjadi media content provider yang tujuan akhirnya adalah membuat buku-buku komputer secara massal lewat SOP yang saya ciptakan sendiri.

Berkaitan dengan menulis, adakah obsesi yang masih tersisa?
Dunia penulisan itu sangat luas. Saat ini saya memang berkonsentrasi di buku komputer. Tapi obsesi saya, saya atau Jubilee Enterprise harus memiliki kapabilitas untuk menulis materi non-TI, seperti buku manajemen atau skenario film. Kita sudah mengarah ke sana. Jika terwujud, ada dua efek yang terjadi. Pertama, ada banyak orang yang bisa saya pekerjaan lagi sehingga sedikit-sedikit membantu mengatasi masalah pengangguran. Kedua, slogan Jubilee Enterprise benar-benar akan terpenuhi. Ingin tahu slogan tersebut? Sederhana kok. “Explore Everything”![ez]

------------------------------------------------------------------------------------------------

Dimana diri kita bisa berhasil, terus gali-gali sampai ketemu !

Friday, December 26, 2008

Kevin si Raja Domain

Walaupun artikel ini udah dipublish lama, tapi saya masih suka bacanya kisah seorang dokter yang menjadi Raja domain di ambil dari Swa.co.id

Kevin Si Raja Domain
Senin, 03 Desember 2007

Oleh : Teguh S. Pambudi

Dari seorang dokter ia beralih profesi menjadi penjual-beli situs Internet. Bagaimana liku-likunya?

Sore itu di Hotel Venetian, Las Vegas, Amerika Serikat. Seorang lelaki keturunan Korea duduk bersandar dan memperhatikan suasana lelang situs di hadapannya. Tangannya bergerak-gerak manakala ada nama situs yang membetot minatnya. Dia pun kemudian berdiri dan diam-diam memberi kode kepada anak buahnya untuk menawar domain atas nama dirinya.

Pada ajang itu, sejumlah nama dibelinya. Di antaranya, Weddingcatering.com senilai US$ 10 ribu, lalu Greeting.com seharga US$ 350 ribu. Sebagai orang Kristen yang taat, dia juga memasukkan Christianrock.com (US$ 31 ribu) dalam koleksinya, termasuk God.com dan Satan.com. Tatkala semuanya berakhir, lelaki itu menghampiri meja dan menuliskan sebuah cek untuk semua domain yang dibelinya. Angka yang tertera, US$ 650 ribu. Satu senja yang lumayan mahal.

Deskripsi di atas, yang diurai dengan apik oleh Majalah Business 2.0 belum lama ini, dipuji sekaligus dihujat banyak kalangan sebagai pembuka mata atas siapa sebenarnya sosok keturunan Korea yang satu ini, yang bernama Kevin Ham. Diberi judul “The Man Who Owns Internet”, tulisan itu membeberkan betapa kayanya si Kevin, dan bagaimana dia mendapatkan itu semua.

Kini Kevin adalah the King of Domain. Julukan lain, Raja Properti Dunia Maya. Dari tahun 2000 hingga sekarang, dia ditaksir memiliki 300 ribu domain yang telah memberinya pendapatan US$ 70 juta/tahun. Portofolio personalnya sendiri diperkirakan mendekati US$ 300 juta. Angka yang tak kecil, yang diperoleh karena kejelian — dan buat sebagian orang yang tak menyukainya, lantaran kelicikannya.

Lelaki berusia 37 tahun ini tumbuh di Vancouver, Kanada, dengan tiga saudara. Ayahnya menjalankan bisnis laundry, sementara ibunya menjadi perawat. Sempat sakit yang membuatnya mudah lemas di usia 14 tahun, mendorongnya bercita-cita menjadi dokter, yang kemudian ditempuhnya di University of British Columbia. Lulus dari sekolah kedokteran pada 1998, dia bersama istrinya tinggal di Ontario, berpraktik di rumah sakit.

Tak seperti dokter lain, Kevin adalah sosok yang unik. Di sela-sela pekerjaannya, dia memuaskan ketertarikannya pada dunia Internet yang tengah tumbuh luar biasa. Tak tanggung-tanggung, dia belajar membuat situs dan bahasa pemrograman Perl.

Saat itu, dunia Internet memang tengah bergejolak dalam fase pertumbuhannya. Salah satu informasi yang terserak adalah web hosting. Melihat hal ini, Kevin pun mulai membangun direktori online tentang penyedia jasa web hosting, lengkap dengan review dan rating atas jasa mereka. Situsnya dinamakan Hostglobal.com. Sebuah pijakan yang kelak mengantarkannya masuk ke bisnis jual-beli domain.

Ceritanya begini: sekitar 6 bulan setelah Hostglobal meluncur, dan Kevin mendapat US$ 60 ribu hasil dari penjual iklan di situsnya, salah seorang pengiklannya yang berbisnis menjual registrasi domain bercerita bahwa iklan tunggal (single ad) bisa menghasilkan sekitar US$ 1.500 setiap bulan. Tak ayal, pikiran untuk ikut mencicipi bisnis ini pun segera hadir di benak dokter muda itu.

Dalam pikiran Kevin, orang yang berbelanja untuk jasa hosting kerap kali tertarik memberi URL (alamat situs) yang menarik, atau catchy. Maka, dia pun meluncurkan direktori online kedua, DNSindex.com. Situs ini memberi layanan buat pelanggan untuk mendaftarkan nama domainnya. Hanya, Kevin menambahkan fitur yang amat diinginkan orang: daftar mingguan nama domain yang tersedia dan bisa digunakan. Dalam situs ini, beberapa nama yang ada dalam daftar dia gratiskan. Beberapa lagi, dia patok US$ 50 untuk setiap nama. Dalam hitungan bulan, pelanggannya telah mencapai 5 ribu orang lebih.

Tak dinyana, bisnis ini melesat. Pada Juni 2000, Hostglobal dan DNSindex ditaksir telah memberinya US$ 40 ribu/bulan. Angka ini lebih banyak dari yang didapatnya dari rumah sakit, bahkan dalam setahun. Akhirnya, Kevin pun mengambil tindakan penting: menanggalkan praktik kedokteran. Dia beralih ke dunia maya, untuk menjadi sang penguasa.

Bersama istri dan anaknya, dia kembali ke Vancouver, tinggal di apartemen. Ibarat botol bertemu tutupnya, saat itu, keputusan menekuni dunia domain amat tepat. Kejatuhan dotcom membuat para investor lari dari dunia web. Ratusan hingga ribuan domain yang bermunculan, mendadak menjadi tidak berarti, jatuh, atau habis masa registrasinya. Kevin pun kejatuhan durian runtuh. Dia siap memboyong domain-domain tersebut. Yang diperlukan adalah ketahanan menyeleksi satu demi satu nama situs.

Ketika itu, Networks Solutions bisa dikatakan menjadi pengontrol nama-nama situs yang catchy. Perusahaan ini adalah tempat mendaftarkan dan menjual .com. Kevin melihat, Network Solutions memang tidak memberitahukan kapan sebuah nama domain yang telah berakhir masa registrasinya akan dikembalikan ke pasar, tapi dua hari sekali ia memublikasikan master list seluruh nama yang teregristrasi, yang dikenal dengan sebutan “root zone” — kini dikelola VeriSign. Daftar ini demikian gemuknya karena memuat lebih dari 5 juta nama yang selain membutuhkan waktu lama untuk mengunduhnya, juga bisa membuat sebuah PC hang saking “beratnya” data.

Melihat peluang yang muncul, Kevin pun bertindak taktis. Dia membuat peranti lunak yang membandingkan daftar yang dikeluarkan antara satu hari dan hari-hari berikutnya. Kemudian, dia menelusuri nama yang menghilang dari root zone, dan dibuatkan daftar tersendiri. Dia menemukan fakta menarik: biasanya, sebuah nama akan menghilang setelah 5-6 hari termuat dalam root zone. Dan biasanya itu terjadi di pukul 03.30 dini hari. Bisa dibayangkan bagaimana pola kerja mendeteksi nama-nama domain yang hilang ini. Yang pasti, setelah jam-jam tersebut, Kevin menyalakan lima komputer untuk kemudian melakukan penawaran pembelian atas nama-nama yang diinginkannya.

Ketika itu, tanpa sepengetahuannya, sejumlah rival ternyata juga melakukan hal serupa. Dan dari data registrasi para pembeli, Kevin melihat sebuah nama yang banyak bermuara ke satu orang yang menjuluki dirinya sebagai “NoName”. Belakangan, diketahui bahwa ini adalah seorang programer kelahiran Cina, yang nama aslinya adalah Yun Ye, yang beroperasi dari Fremont, Kalifornia.

Sedikit tentang Yun Ye. Dia adalah sosok yang tak kalah unik. Siang hari, profesinya adalah pengembang software. Malamnya, dia meluncurkan program yang secara otomatis akan menawar sejumlah domain untuk dibeli. Kelak pada 2004, Yun dikenang sebagai “dewa” di kalangan para penjual-beli domain lantaran sukses melego portofolionya yang terdiri atas 100 ribu domain pada Marchex (perusahaan di Seattle yang menyediakan jasa online traffic lokal dan vertikal ke pedagang) senilai US$ 164 juta.

“Yun terlalu hebat,” ungkap Kevin. Toh, dia pun tak kalah hebatnya. Dia bertindak berani. Sejak para pendaftar bisa melakukan koneksi langsung ke server Network Solutions, Kevin memotong kompas. Dia melakukan deal dengan para pendaftar domain, agar bisa mendapatkan domain mereka saat keluar dari root zone. Untuk kesepakatan ini, dia menawarkan US$ 100 untuk setiap nama (normalnya US$ 8). Dalam seminggu, banyak deal bisa dibuat. Dan di akhir 2000, Kevin telah mendaftarkan sedikitnya 10 ribu domain.

Taktik ini memancing kemarahan. “Kevin datang sekaligus menutup pintu buat yang lain,” Franck Schilling, seorang penjual-beli situs, mengeluhkan. Uniknya, Franklah yang kelak justru berjasa besar buat pesaingnya itu. Itu terjadi ketika mereka bertemu di sebuah restoran, November 2000.

“Berapa banyak traffic yang kamu punya?” tanya Frank. Kevin menjawab, tak tahu. Frank pun kemudian nyerocos bahwa dia tengah bereksperimen dengan GoTo.com yang menghubungkan domain-domain miliknya dengan iklan. Mendengar ini, Kevin pun kemudian mencobanya sendiri. Dia meluangkan waktu seminggu untuk mencari tahu berapa banyak traffic pada situs-situs miliknya. Hasilnya, sungguh mengejutkan: 8 ribu pengunjung/hari. “Dari situ, saya tahu apa yang saya buat selama ini, sangat, sangat berharga,” katanya. Dia mengikuti jejak Frank, menandatangani kerja sama dengan GoTo (di kemudian hari dibeli Yahoo). Pada hari pertama, US$ 1.500 masuk ke kantongnya dari iklan yang terhubung ke domain-domain miliknya.

Akan tetapi, kejelian terbesar Kevin adalah ketika dia menyadari bahwa orang tak selamanya menggunakan Yahoo, atau kemudian Google, untuk mencari situs yang diinginkan. Kebanyakan orang mengetik sebuah nama untuk kemudian ditambahkan “.com” di belakangnya. Contohnya, memerlukan sepatu pernikahan, maka ketikkan “weddingshoes.com” (situs yang sekarang dimiliki Kevin) dan kita akan mendarat di sebuah situs yang terlihat seperti portal sepatu pernikahan, yang terhubung dengan lusinan penjual sepatu penikahan.

Di situs ini, setiap klik yang dilakukan seseorang akan menghubungkannya dengan pengiklan (penjual sepatu). Lalu, sang pengiklan akan membayar Yahoo. Dan selanjutnya, giliran Yahoo membagi hasil jualan iklan ini ke Kevin. Dari satu situs ini, dia mengaku mendapat sedikitnya US$ 9.100/tahun. Kecil memang. Hanya saja, tilik biaya untuk situsnya ini: ongkos pendaftarannya US$ 8 dan sekitar US$ 7 untuk biaya overhead per tahun. Dan pola bisnis semacam inilah yang terjadi pada domain-domain milik mantan dokter itu. Pola yang sangat menguntungkan: akhir 2002, sedikitnya US$ 1 juta mengalir ke kantong Kevin lewat model bisnis semacam ini, yang dikenal dengan pay per click.

Tak sedikit yang memuji, tapi kelak tak sedikit pula yang mencelanya. Hal ini terjadi ketika Kevin tampak semakin cermat mengeksploitasi setiap peluang dalam bisnis domain. Melihat orang sering terpeleset mengetik “.com” secara tidak utuh menjadi “.cm”, dia pun bekerja sama dengan Pemerintah Kamerun sebagai pemilik kode .”cm” — sebagaimana Jerman dengan “.de”, atau Indonesia dengan “.id”. Caranya?

Domain-domain yang belakangnya “.cm” dan belum teregistrasi akan dihubungkan oleh server di Kamerun, dengan server milik Kevin di Vancouver. Contohnya, ketikkan “paper.cm”, maka server yang dimiliki Camtel, BUMN Kamerun yang mengurusi pendaftaran domain, akan terhubung dengan server Agoga.com milik Kevin. Begitu juga bila mengetikkan “Beer.cm” (untuk mencari produk bir), Newyorktimes.cm, bahkan Anyname.cm. Semuanya akan terhubung dengan Agoga.com, situs yang berisi iklan aneka produk yang didukung Yahoo.

Berapa uang yang disisihkan untuk Pemerintah Kamerun lewat pola bisnis semacam ini, tidak diungkap oleh Kevin. Yang pasti, dia kini tengah menjajaki untuk mengulang model sejenis dengan Pemerintah Kolombia yang kodenya “.co”. Sejumlah orang bahkan menaksir Kevin akan melakukannya juga dengan Oman (.om), Niger (.ne), dan Ethiopia (.et).

Yang menarik, sekalipun begitu hebat, Kevin nyaris tak dikenal. Publikasi tentang dirinya terbilang amat minim, bahkan di wikipedia sekalipun. Namun, boleh jadi ini karena apa yang dilakukannya juga memancing banyak musuh. Di antaranya, para pengacara korporat yang menuduh penggunaan “.cm” berpotensi penyalahgunaan trademark.

Terlepas dari kontroversi yang muncul, Kevin tetap dipuja para fansnya. Dia sendiri terus aktif memburu domain. Dalam sehari, 30-100 nama domain dibelinya. Sebagai informasi, dalam tiga tahun terakhir, jumlah nama domain meningkat lebih dari 130% menjadi 66 juta domain. Setiap dua detik, satu nama bergabung.

Memang tak hanya Kevin yang melakukan profesi ini. Namun, dari segelintir orang yang bermain di dunia ini, dialah rajanya. Dunia yang disebutnya sebagai “the virtual real estate”.

Riset: Sarah Ratna

sumber: Swa.co.id

Sukses Wirausahawan Sosial

Naskah Asli : http://www.binaswadaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=38&lang=in_ID

Oleh: ST SULARTO

Peringatan 70 tahun usia Bambang Ismawan, lahir 7 Maret 1938, ditandai dengan terbitnya dua buku. Buku pertama berjudul Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik dan buku kedua Mazmur Ismawan.

Delapan puluh dari 284 halaman buku pertama berisi perjalanan hidup Bambang Ismawan, lengkapnya Fransiskus Xaverius Bambang Ismawan, mulai dari desa kelahirannya di Babat, Lamongan, Jawa Timur, sampai di Jakarta, tepatnya di Cimanggis, Jawa Barat; sisanya sekitar 200 halaman berisi komentar-komentar teman, kolega, dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Bambang Ismawan atau Bina Swadaya, yayasan yang menaungi berbagai usaha Bambang Ismawan bersama sejumlah kerabatnya.

Adapun buku kedua berisi napak tilas jejak langkah Bambang Ismawan, sebuah perjalanan retret bersama istri, Sylvia Ismawan, dan sejumlah teman dekat selama tujuh hari, menziarahi berbagai tempat di Jawa, dari Babat sampai Cimanggis. Kedua buku terangkai sebagai kisah sukses seorang wirausahawan sosial Bambang Ismawan.

Nama Bambang Ismawan tak bisa dipisahkan dengan Yayasan Bina Swadaya, sebuah yayasan yang semula bernama Yayasan Sosial Tani Membangun, didirikan bersama I Sayogo dan Ir Suradiman tahun 1967. Komitmen dan perhatiannya pada pemberdayaan masyarakat kecil (wong cilik) sudah terlihat sejak menjadi mahasiswa FE UGM—yang tidak mau menjadi pengusaha seperti umumnya alumni fakultas ekonomi pada masa itu—membawa Bambang Ismawan terlibat dalam kegiatan alternatif pemerintah yang dulu dikenal sebagai organisasi nonpemerintah (ornop), nongovernment organization (NGO), tetapi kemudian dia introdusir nama lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang kemudian dipakai sebutan umum segala kegiatan yang tidak berasal dari pemerintah, baik yang memfokuskan kegiatan advokasi maupun aksi langsung.

Bambang Ismawan bersama Bina Swadaya dikenal sebagai pelopor gerakan LSM yang berusaha mandiri, tidak tergantung dari bantuan, lewat berbagai usaha—dalam buku kedua disebutkan sebagai LSM terbesar di Asia Tenggara—karena itu pernah disindir sebagai membisniskan kemiskinan pada era tahun 1980-an. Namun, pada satu dekade kemudian, Bambang membuktikan langkah yang dia lakukan selama ini tidak keluar dari jalur pemberdayaan.

Koperasi yang dirintis awal kegiatan Bina Swadaya membuktikan masyarakat bisa mandiri, yaitu orang memperoleh kepastian atas hak miliknya, yang sejalan dengan pemikiran sosiolog Hernando de Soto, yaitu kepastian hak milik dipenuhi antara lain lewat sertifikasi tanah. Dalam konteks kemudian, mengaku berkali-kali bertemu pemenang Nobel dari Bangladesh, Muhamad Yunus, apa yang dilakukannya dalam menggerakkan swadaya masyarakat adalah mengadvokasi dan memberikan semangat bekerja pada masyarakat.

Bina Swadaya yang dirintis dan dikembangkannya saat ini dari sisi sebuah usaha dengan omzet Rp 20 miliar, 900 karyawan tetap, melayani secara langsung 100.000 keluarga miskin. Pusdiklat di Cimanggis sudah melatih sekitar 7.000 pimpinan LSM pengelola pemberdayaan masyarakat, penerbitan majalah luks pertanian Trubus yang terbit pertama tahun 1969 kini dengan oplah 70.000 eksemplar, penerbitan buku-buku pertanian sejak 25 tahun lalu disusul buku-buku kesehatan, keterampilan, dan bahasa, 12 toko pertanian di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Bina Swadaya tidak lagi sebuah LSM yang kegiatannya mengandalkan dana pihak ketiga. Dalam usia 70 tahun, setelah 40 tahun lebih menangani Bina Swadaya sebagai Ketua Pengurus, resmi Bambang menyerahkan tongkat kepemimpinan pada Nico Krisnanto, mantan bankir yang sudah beberapa tahun belakangan ini magang di Bina Swadaya.

Tiga jalur

Dalam rencana kerja 10 tahun yang akan datang, Bina Swadaya ingin menjadi LSM yang besar dengan karyawan 5.000 orang pada tahun 2015 (buku pertama, hal 46), dengan tetap berpijak pada roh dan semangat awal, yakni pemberdayaan wong cilik. Sebutan macam-macam, akhirnya tepat yang dirumuskan untuk sosok Bambang Ismawan oleh Harry Tjan Silalahi, ”menolong wong cilik bukan karena merasa sebagai orang besar” (buku pertama, hal 25), menurut Frans Magnis Suseno SJ, ”berusaha di tingkat akar rumputbukan bagi masyarakat, melainkan bersama masyarakat untuk memperbaiki kehidupan mereka” (buku pertama, hal 111).

Menurut Bambang, untuk memberdayakan masyarakat dibutuhkan tiga jalur sebagai pegangan kerjanya selama lebih dari 40 tahun (buku pertama, hal 22-23). Jalur pertama lewat pengembangan kelembagaan. Lewat koperasi berbasis komunitas Bina Swadaya mendampingi lebih dari 20 juta keluarga bekerja sama dengan sejumlah lembaga. Lewat jalur ini koperasi yang digagas pertama kali oleh Bung Hatta sebagai usaha pemberdayaan masyarakat tetapi terperosok berhadapan dengan pengembangan ekonomi yang bermotif utama keuntungan margin, oleh Bina Swadaya dibuktikan sebagai lembaga yang tepat bagi pemberdayaan masyarakat.

Jalur kedua lewat jalur pengembangan ekonomi mikro. Menabung, kebajikan yang mungkin aneh di zaman konsumeristis sebagai penggerak roda ekonomi sekarang, oleh Bambang Ismawan dihidupkan sebagai jalur kedua pemberdayaan.

Dia beri contoh, di Cisalak para bakul harus membayar bunga 20 persen per bulan, di Muara Karang nelayan didera 50 persen bunga. Mengapa? Karena mereka tidak biasa menabung, tidak menyisihkan sebagian pendapatannya untuk disimpan. Yang perlu adalah pengubahan paradigma tentang sikap mengenai uang, lebih jauh tentang sikap hidup.

Bina Swadaya sejak tahun 1970-an mendorong masyarakat rajin menabung. Untuk usaha ini disalurkan kredit mikro bagi lebih dari sejuta orang di berbagai kota, dan tengah mengadopsi sistem Association for Social Advancement (ASA) yang dikembangkan Muhamad Yunus dari Bangladesh lewat Grameen Bank.

Jalur ketiga lewat promosi produk unggulan. Lewat majalah Trubus sudah diperkenalkan paling sedikit 19 produk unggulan yang mengangkat taraf hidup rakyat. Ada agroekspo, pengembangan burung walet, virgin coconut oil, anthurium, lobster air tawar, buah merah, sarang semut, dan lain-lain yang berdampak pada tumbuhnya lebih dari 4.000 industri agrobisnis.

Menurut Bambang, jalur tersulit dari tiga jalur itu adalah jalur kedua. Ada gesekan dan konflik kepentingan. Beberapa orang menyatakan tidak sanggup mengubah peran dari pendamping menjadi tukang tagih yang harus menjamin pengembalian pinjaman, sampai terjadi seorang direktur memperkarakan pengurus yayasan; suatu pekerjaan sulit sebab mengubah paradigma berpikir yang telanjur salah kaprah, dari meminjam uang berarti siap ngemplang menjadi siap mengembalikan.

Aktivitas Bambang diawali dengan keterlibatannya dalam organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat kecil, terutama sejak tinggal di Asrama Realino Yogyakarta dengan tempaan pemahaman tentang politik oleh Pastor Beek SJ. Adapun tempaan dan komitmen pada rakyat kecil dia belajar dan memperoleh penguatan dari Pastor John Dijkstra SJ, untuk masalah keuangan dari Pastor Christian Melchers SJ. Ketiga sosok itulah yang membentuk Bambang Ismawan sebagai seorang social entrepeneur yang tidak bergantung pada pihak ketiga, tetapi melakukannya secara berkelanjutan karena mampu berkembangberdasarkan penghasilan yang diperoleh dari pelayanan itu sendiri (buku pertama, hal 32-33).

Ada kesamaan antara wirausaha dan wirausaha sosial, yakni sama-sama mencari uang. Perbedaannya, wirausaha bertujuan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, wirausaha sosial bertujuan meningkatkan nilai kesejahteraan anggota masyarakat yang menjadi target pelayanannya. Sosok Bambang Ismawan teringkas dalam kedua buku itu. Dialah seorang wirausahawan sosial dengan payung Bina Swadaya sebagai LSM. Bina Swadaya melakukan kegiatan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dan keuntungan itu untuk memberdayakan masyarakat (buku pertama, hal 33).

Rumah tanpa pagar

Sebagai wirausahawan sosial, Bambang mencita-citakan masyarakat Indonesia simbolis sebuah rumah tanpa pagar, rumah tanpa palang dengan halaman yang sama. Dalam kisah perjuangan menegakkan keadilan dan mempresentasikan hak-hak rakyat, tidak akan dijumpai cara-cara kekerasan seperti turun ke jalan atau teriak demo ”mendampingi wong cilik” atau ”memberdayakan masyarakat akar rumput”. Lewal Bina Swadaya ia turun ke lapangan, tidak secara fisik menjadi petani, menjadi bankir, atau menjadi tukang becak. Ia menggerakkan sarana dan ajakan agar masyarakat sendiri berubah sehingga bukankah itu cita-cita dan cara kerja yang seharusnya diambil oleh para penggiat masyarakat: mengubah paradigma cara berpikir dan memberikan sarana untuk itu.

Sebagai persembahan ulang tahun, kedua buku ini nyaris tidak banyak beda dalam hal mendudukkan sosok Bambang Ismawan.

Sebagian besar halaman buku pertama diisi oleh komentar dan tanggapan orang lain. Buku kedua berisi perjalanan napas tilas, sekaligus melukiskan bagaimana refleksi selama perjalanan disampaikan oleh Bambang yang kemudian direkam apik oleh Eka Budianta. Buku kedua melengkapi, memberikan kidung pujian (mazmur) untuk sepak terjang Bambang Ismawan selama 70 tahun, 44 tahun di antaranya dalam Bina Swadaya. Untuk itu buku pertama dan kedua harus dibaca bersama-sama, keduanya saling melengkapi. Begitu dibaca bersama, akan kelihatan banyak kisah dan pernyataan yang diulang-ulang, tumpang tindih, baik dalambuku pertama sendiri maupun dalam buku pertama dan kedua sekaligus.

Masih ada cita-cita Bambang yang belum terpenuhi, di antaranya ingin mendirikan koperasi yang benar-benar koperasi untuk rakyat kecil termasuk di dalamnya kegiatan simpan pinjam. Koperasi merupakan sarana masyarakat untuk mandiri, terlihat besarnya peranan gugus-gusus wilayah (guswil) yang berada di lapangan, apalagi guswil-guswil itu akan diubah menjadi koperasi. Koperasi yang dibayangkan tidak sekadar koperasi simpan pinjam, tetapi koperasi dalam layanan menyimpan, meminjam dan konsultasi (jasa pengembangan proyek), dan pengembangan masyarakat.

Jalan panjang melanjutkan cita-cita masih terbentang, seperti dikritik F Rahardi menyangkut bagaimana menjadikan guswil-guswil itu benar-benar menjadi tumpuan harapan rakyat dengan contoh kasus aktual masalah rawan pangan.

Sumber: http://kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.14.02164688

Kisah Sukses : Oprah Winfrey

Nashkah Asli : http://renungan-harian-kita.blogspot.com/2008/01/kisah-sukses-oprah-winfrey.html

Oprah Winfrey - Wanita Luar Biasa!


Bermodal keberanian “Menjadi Diri Sendiri”, Oprah menjadi presenter paling populer di Amerika dan menjadi wanita selebritis terkaya versi majalah Forbes, dengan kekayaan lebih dari US $ 1 Milyar. Copy acara “The Oprah Winfrey Show” telah diputar di hampir seluruh penjuru bumi ini.

TAHUKAH ANDA?
Lahir di Mississisipi dari pasangan Afro-Amerika dengan nama Oprah Gail Winfrey. Ayahnya mantan serdadu yang kemudian menjadi tukang cukur, sedang ibunya seorang pembantu rumah tangga. Karena keduanya berpisah maka Oprah kecil pun diasuh oleh neneknya di dilingkungan yang kumuh dan sangat miskin. Luarbiasanya, di usia 3 tahun Oprah telah dapat membaca Injil dengan keras.

“Membaca adalah gerai untuk mengenal dunia” katanya dalam suatu wawancaranya.

Pada usia 9 tahun, Oprah mengalami pelecehan sexual, dia diperkosa oleh saudara sepupu ibunya beserta teman-temannya dan terjadi berulang kali. Di usia 13 tahun Oprah harus menerima kenyataan hamil dan melahirkan, namun bayinya meninggal dua minggu setelah dilahirkan.

Setelah kejadian itu, Oprah lari ke rumah ayahnya di Nashville. Ayahnya mendidik dengan sangat keras dan disiplin tinggi. Dia diwajibkan membaca buku dan membuat ringkasannya setiap pekan. Walaupun tertekan berat, namun kelak disadari bahwa didikan keras inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang tegar, percaya diri dan berdisiplin tinggi.

Prestasinya sebagai siswi teladan di SMA membawanya terpilih menjadi wakil siswi yang diundang ke Gedung Putih. Beasiswa pun di dapat saat memasuki jenjang perguruan tinggi. Oprah pernah memenangkan kontes kecantikan, dan saat itulah pertama kali dia menjadi sorotan publik..

Karirnya dimulai sebagai penyiar radio lokal saat di bangku SMA. Karir di dunia TV di bangun diusia 19 tahun. Dia menjadi wanita negro pertama dan termuda sebagai pembaca berita stasiun TV lokal tersebut. Oprah memulai debut talkshow TVnya dalam acara People Are Talking. Dan keputusannya untuk pindah ke Chicago lah yang akhirnya membawa Oprah ke puncak karirnya. The Oprah Winfrey Show menjadi acara talkshow dengan rating tertinggi berskala nasional yang pernah ada dalam sejarah pertelevisian di Amerika. Sungguh luar biasa!

Latar belakang kehidupannya yang miskin, rawan kejahatan dan diskriminatif mengusik hatinya untuk berupaya membantu sesama. Tayangan acaranya di telivisi selalu sarat dengan nilai kemanusiaan, moralitas dan pendidikan. Oprah sadar, bila dia bisa mengajak seluruh pemirsa telivisi, maka bersama, akan mudah mewujudkan segala impiannya demi membantu mereka yang tertindas.

Oprah juga dikenal dengan kedermawanannya. Berbagai yayasan telah disantuni, antara lain, rumah sakit dan lembaga riset penderita AIDs, berbagai sekolah, penderita ketergantungan, penderita cacat dan banyak lagi.

Dan yang terakhir, pada 2 januari 2007 lalu, Oprah menghadiri peresmian sekolah khusus anak-anak perempuan di kota Henley-on-Klip, di luar Johannesburg, Afrika selatan, yang didirikannya bersama dengan pemirsa acara televisinya. Oprah menyisihkan 20 juta pounsterling ( 1 pons kira2 rp. 17.000,- )atau 340 milyiar rupiah dari kekayaannya. “Dengan memberi pendidikan yang baik bagi anak2 perempuan ini, kita akan memulai mengubah bangsa ini” ujarnya berharap.

Kisah Oprah Winfrey ialah kisah seorang anak manusia yang tidak mau meratapi nasib. Dia berjuang keras untuk keberhasilan hidupnya, dan dia berhasil. Dia punya mental baja dan mampu mengubah nasib, dari kehidupan nestapa menjadi manusia sukses yang punya karakter. Semangat perjuangannya pantas kita teladani!

Thursday, December 25, 2008

Kisah sukses Yoyo Sunaryo, Pemilik KREASI MANDIRI

Berbekal dari pesangon PHK sebesar Rp. 800.000, kini omsetnya mencapai Rp. 48 juta per bulan

Setelah di PHK pada tahun 1996, jiwa seni dan enterpreneurship-nya justru muncul. Ia kemudian mengembangkan usaha lukis dinding, plafon rumah, gedung perkantoran. Bagaimana ia menapaki tangga sukses usahanya ?

Yoyo sunaryo memang mempunyai bakat menggambar dan melukis sejak kecil. Hanya dengan menggunakan pensil dan sipat alis, bahkan sejak SD ia sudah melukis Adam Malik dan para pahlawan lainnya. Untuk membiayai sekolahnya pun hingga lulus SMU di perolehnya dari hasil menggambar setiap kali ada pesanan.

Berbekal dari kegemaran menggambar tersebut, Yoyo Sunaryo ( 38) berhasil menamatkan studinya hingga SMA di Cirebon, Jawa Barat dengan biaya sendiri. Setelah lulus SMA tahun 1989, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Pada saat itu ia mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan Aneke Kreatif Kaca di kawasan Ancol, Jakarta Utara untuk lukisan kaca atau grafier dan sun glass, dan sempat berpindah-pindah perusahaan hingga pernah merasakan PHK di tahun 1996.

Pada saat di PHK tersebut, ternyata jiwa seninya justru muncul, dan mendorong dirinya untuk mandiri dan menjalankan usaha sendiri. Berbekal dari uang gaji Rp. 300 ribu dan pesangon Rp. 800 ribu pada tahun 1996, ia memutuskan untuk membuka sebuah toko frame dari kayu dan lukisan sebagai pengembangan dari bakat lamanya tersebut.

Uang tersebut di pergunakan untuk membeli bahan baku frame, kompresor, sewa lahan dan membangun toko di kawasan kebon Jeruk, Jakarta Barat. Toko dengan luas sekitar 4 x 5 meter itu di namai Kreasi Mandiri, yang mulanya hanya menjual frame dan order melukis walaupun walaupun ordernya tidak sebesar order frame.

Pria kelahiran banten tahun 1963 ini terus mengasah kemampuannya, terutama dalam bidang grafier yang dulu pernah di pelajarinya saat ia masih bekerja. Untuk produknya ia menyasar kalangan menengah atas. Produknya biasanya di pakai sebagai penghias rumah, gedung, apartemen dan restoran. Dengan di pasang hasil karya Yoyo Soenaryo, biasanya rumah atau gedung akan terlihat elegant.

Mulanya Yoyo hanya coba-coba membuat kreasi kaca dan memajangnya namun pada akhirnya banyak yang tertarik sehingga banyak permintaan, dan penjualannya pun tidak kalah dengan penjualan frame. ” para pelanggan yang datang lebih banyak tahu dari omongan pelanggan yang lain dan memang saya tidak pernah mempromosikan tempat usaha saya maupun karya saya.

Pelanggan yang datang merasa puas dengan hasil kerja saya, dan saya mendapatkan kepercayaan itu dari para pelanggan saya “, Cetus Yoyo yang yakin potensi usaha ini masih besar dan persaingannya terhitung jarang karena termasuk produk yang terbilang unik.

Dalam perjalanan usahanya, tempat usaha yoyo sempat terkena gusuran sehingga di pindahkan ke cingkareng, jakarta barat. Dan di tempat yang baru itu iamengontrak sebuah toko namun ternyata membawa dampak yang sangat buruk karena pelanggan yang dulu menjadi pelanggannya tidak mengetahui kepindahannya, otomatis keadaan tersebut membawa dampak sepinya order yang di dapatkan. ” Saya nggak pernah merasa kapok, walaupun usaha yang saya geluti pernah bangkrut “, ceritanya.

Untuk Lebih mendukung usahanya tersebut Yoyo sunaryo berinisiatif membeli sebuah rumah dengan harga Rp. 170 juta. Rumah tersebut selain untuk tempat tinggalnya sekaligus di gunakan sebagai galery. Tempat tinggal yang juga sekaligus digunakan untuk galery itu kemudian di bangun dan di renovasi, dimana setiap dindingnya di hiasi gambar dan lukisan dinding, dan plafon yang bertemakan Painting of The Italian, Romantic Era. Setiap kali ada konsumen yang mendatangti galerynya biasanya merasa tertarik dengan lukisan baik yang ada di dinding setiap sudut galery itu maupun yang berada di plafon galery.

Target Ke Depan

Menyinggung soal omzet, dalam satu bulan ia bisa mendapatkan pesanan lukisan dinding sebanyak 2-3 proyek, dan untuk satu rumah biasanya rata-rata memesan 2 lukisan dengan ukuran masing-masing 2×4 meter.

Harga lukisan tersebut bervariasi tergantung dari tingkat kesulitan, nisalkan untuk gambar yang simpel seperti gambar awan saja harganya sekitar Rp. 300.000,- per meter persegi, tapi untuk jenis ini jarang sekali yang pesan, untuk gembar yang sulit seperti gambar bidadari didinya mematok harga sekitar Rp. 2 juta permeter persegi.

setelah sukses membuka galery Kreasi Mandiri dan menguasai pasar jakarta, luar kota jakarta pun di sasarnya. Hingga sekarang permintaan untuk lukisan dinding dan plafon sangat tinggi karena dalam satu bulan ia bisa mengerjakan 2-3 proyek. Dan tidak sedikit pesanan datang dari luar kota seperti Surabaya, Yogya, semarang, Pontianak dan luar jawa. Pesanan juga tidak hanya dari perumahan sekitarnya, namun juga datang dari perkantoran.

Di katakan Yoyo sunaryo, sampai saat ini ia belum menggunakan jasa bank untuk mengembangkan usahanya. ” Saya selalu di ajarkan oleh orang tua saya untuk selalu hidup mandiri tanpa harus membebankan hidup pada orang lain”, ujarnya. Untuk menambah wawasan, Yoyo sunaryo seringkali membaca buku-buku tentang desain dan gambar-gambar kemudian di aplikasikannya diatas kanvas. ” Saya orangnya selalu ingin tahu jadi kita harus selalu belajar,” akunya.

Sementara itu, dari keuntungan hasil kerja kerasnya selama ini di gunakan untuk menunaikanibadah haji, merenovasi rumah dan galerynya, dan sisanya di tabung untuk mempersiapkan pendidikan kedua puta-putrinya. ” Apabila di tanya sudah sukses atau belum, saya akan menjawab sudah bila hasil karya saya sudah bisa di nikmati di berbagai daerah, bahkan sampai ke luar negeri,” ucapnya bangga.

by Caca C, Tabloid Peluang Usaha.


Oyo Saryo, mantan kuli pacul yang jadi Pengusaha BUBUR AYAM

Naskah asli : http://partisimon.com/blog/?p=165

Profesi Oyo Saryo dulunya hanyalah kuli pacul (buruh tani) biasa asal Majalengka, Jawa Barat, kini berubah menjadi seorang Bos Bubur Ayam “Mang Haji OyoTea” yang saat ini memiliki 8 cabang. Bagaimana kisah sukses Mang Oyo yang bertekad mengubah nasib yang hanya dari seorang buruh tani menjadi pengusaha bubur ayam hanya dengan bekal tekad, keuletan, dan kerja keras?

Pada hari minggu itu, di Jalan surapati, Bandung, Tepatnya dilokasi tempat bubur ayam “Mang haji Oyo Tea” terlihat sepi. Kemana pengunjung gerangan? rupanya situasi sepi tersebut bukan dikarenakan buburnya tidak laku, tetapi ternyata sudah ludes dilahap pelanggan. Hari itu, terjual habis 160 porsi. Kasir sedang menghitung hasil penjualan, sementara para pegawai sedang membereskan kursi dan meja, dan si pemilik usaha bubur tersebut, Oyo saryo, mengaso.

Pembeli rela antri untuk membeli makanan berlabel “Bubur Ayam Mang Haji (MH) Oyo Tea” tersebut. Mang Oyo, demikian ia biasa disapa, sudah berjualan bubur ayam sejak tahun 1976.

Kisah sukses Oyo Saryo merupakan gambaran kegigihan rakyat kecil yang menggeluti usaha yang nyaris hanya dengan modal dengkul, dan tekad kuat untuk mengubah nasib. Oyo adalah seorang anak petani miskin dari desa Salawangi, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka. Sewaktu ia masih kecil, ia terbiasa hidup dengan menggembalakan sapi atau kerbau untuk membiayai sekolah. Di pagi hari ia bersekolah, sedangkan di siang sampai sore hari ia menggembala ternak.

Setelah dewasa, karena kesulitan mencari pekerjaan, Oyo menjadi buruh tani atau kuli pacul dikampungnya. Namun, karena desakan kebutuhan hidup dan keinginan mencapai taraf hidup yang lebih baik, membuat Oyo akhirnya mengambil keputusan untuk merantau. Sedikit modal dari hasil bertani yang dapat dikumpulkannya, dijadikan bekal untuk merantau ke kota Bandung pada tahun 1964.

Di Bandung, ia pernah melamar ke pabrik daging, tetapi tidak diterima. Apa mau dikata, karena walaupun Oyo lulusan Sekolah Rakyat, tetapi ijazahnya telah hangus terbakar bersama rumahnya yang terbakar pada tahun 1958.

Kemudian Oyo mencoba peruntungan dengan berjualan minyak tanah keliling. Namun, setelah 3 bulan, ia merasa tidak sreg dengan pekerjaannya ini dan merasa berat membawa minyak tanah. Lalu ia beralih profesi lagi dengan berjualan keliling bubur lemu dan pacar cina dengan memakai pikulan.

Profesi penjual bubur lemu ia jalani dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1976, dan hidupnya masih biasa-biasa saja. Hasil yang ia dapat sehari-hari pun masih pas-pasan. Karena pembeli bubur lemu dan pacar kebanyakan hanya terbatas pada anak-anak.

Memasyarakatkan Olahraga

Suatu waktu Oyo terinspirasi dengan maraknya slogan pemerintah waktu itu, yakni ” Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat“. Lalu ia berfikir, “Bila warga selesai berolahraga, pasti mereka mencari santapan“, dan muncullah ide bisnis untuk berjualan bubur ayam.

Mengapa memilih berjualan bubur ayam? pertimbangannya bubur ayam disukai dan dapat dinikmati oleh segala kalangan, dari anak-anak sampai orang tua. Pada awal Oyo membuka usaha bubur ayam, menu bubur ayam yang disajikannya masih sangat sederhana. Bubur encer polos dengan taburan seledri, kacang dan kerupuk. Tetapi makin lama dan atas saran pelanggan, ia menambahkan lauk irisan daging ayam, cakue dan lain-lain.

Pertama-tama ia berjualan bubur ayam di lingkungan kantor dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa barat di kota Bandung. Selanjutnya, disebabkan oleh dinamika dan tanggapan warga sekitar, Oyo berpindah pindah lokasi usahanya. Pelanggan yang bertambah banyak memaksa ia untuk mencari tempat usaha yang lebih representatif, yaitu di Jalan Panatayuda.

Di tempat baru ini, oyo kembali menghadapi situasi dilematis. Ternyata bubur ayamnya sangat laris manis tetapi dipersoalkan oleh warga sekitar. Kendaraan pembeli yang parkir memenuhi sebagian besar area membuat warga lain protes. Pada tahun 2004, Oyo kembali membuka usaha di tempat yang baru, yakni di Jalan Sulanjana. Dan cabang pertama bubur ayamnya di lingkungan Universitas Islam Bandung tidak luput dari situasi serupa. Dan akhirnya Oyo harus pindah ke Jalan Gelapnyawang.

Walau mengalami pengalaman terpaksa berpindah-pindah lokasi, namun karena bubur ayamnya memang pas di lidah pembeli, usahanya makin lama makin berkembang. saat ini ia memiliki 7 cabang di kota Bandung, yaitu: di Jalan Gelapnyawang, Jalan Sulanjana, Jalan Ir Soetami, Jalan Surapati, Jalan burangrang, semuanya berada di kota Bandung serta kota baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat.

Pada semua cabang usahanya, dibuka sekitar pukul 06.00 dan tutup sekitar pukul 13.00, terkecuali untuk yang di Jalan Sulanjana dan Jalan Ir Soetami yang dibuka sampai dengan pukul 20.00 malam. Dan di luar Jawa Barat, ia memiliki 1 cabang yang berada di Yogyakarta.

Oyo juga sudah memahami betul arti “nama” dan profesionalisme, oleh karenanya Ia mendaftarkan “Bubur Ayam MH Oyo Tea” kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan. Selain itu, ia juga sudah mendapatkan pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia berupa setifikat halal.

Untuk kata “Tea” artinya semacam penegasan dalam bahasa Sunda. Kata “Tea” yang melekat dibelakang nama Oyo dijadikan label produk asli buatan Oyo. Bahkan ada pedagang sejenis yang mengatasnamakan dirinya. “Pokoknya, selain selain lokasi-lokasi yang sudah saya sebutkan tadi, itu Bubur Ayam MH Oyo Tea ASPAL (asli tapi palsu),”ujarnya. Oyo memberi nama yang unik untuk menunya, APEL (hati-ampela), ACAK (ayam-cakue) dan ATEL (ayam telur). Harga bubur ATEL dijual Rp 7.500 per porsi dan ACAK Rp 6.000 dan bubur komplet Rp. 10.000.

Ayo Berwirausaha

Dari hasilnya berjualan bubur ayam, Oyo dapat membangun rumah untuk dia dan keluarga bernaung. Bahkan ia sudah mampu menunaikan ibadah haji. Selain itu, Oyo juga sudah memiliki kebun seluas 3.500 meter persegi yang diisi berbagai pohon, seperti mangga, durian, kelapa, sukun dan pete. Ada juga dua mobil dan tiga sepeda motor sebagai kendaraan operasional sehari-hari.

Walaupun berasal dari kampung, Oyo menghimbau agar masyarakat desa jangan tergiur untuk pindah kekota besar. Saat ini bukan lagi masanya ber-urbanisasi. “Lebih baik berwiraswasta dan membuka lapangan kerja di daerah,” ujarnya.

Dalam pekerjaan sehari-hari, ia selalu menyertakan doa dan keyakinan kepada Tuhan. Selain itu harus alus dan pinter, ujarnya lagi dalam bahasa Sunda. Alus berarti cakap atau terampil dan Pinter artinya pintar dalam mengambil keputusan serta meraih peluang usaha yang ada. Dan ditambah dengan satu syarat lagi, yakni kreatif membuat Inovasi untuk menarik Konsumen. Semua prinsipnya tersebut membentuk kata APIK.

Rahasia Oyo dalam berbisnis adalah rela berbagi dengan sesama, tidak pelit, rajin dan sabar, tidak mengeluh saat menghadapi kesulitan dan jangan sampai membuat konsumen kecewa, baik pada poin layanan maupun produk yang dijual. Oyo sendiri mengaku cerewet dan selalu ingin tahu keinginan pelanggannya. Ia juga sering menyelingi pelayanannya dengan humor. Seperti yang ia ucapakan pada saat konsumennya selesai menyantap bubur dan beranjak pergi:

“Terima kasih …
Semoga Tuhan balas kasih,
Jangan lupa datang lagi,
Besok lusa bawa kekasih …”

Sumber referensi: Artikel yang ditulis oleh Dwi Bayu Radius pada koran Kompas.

Franchisee Jalan menuju sukses

KISAH SUKSES
Velly Kristanti (32), Franchisor Klenger Burger
Menyadari bisnis kuliner tidak pernah mati, Velly, tidak gentar untuk ‘banting setir’ usahanya dari restoran masakan sunda ke restoran burger. Namun, ia perlu waktu dua bulan untuk menciptakan formula burger yang memiliki rasa khas. "Maklum, saya harus bersaing dengan resto burger ‘impor’ dan burger kaki lima yang sudah menjamur di mana-mana," ujar ibu dua anak ini.
Setelah menemukan resepnya, Velly menamakan resto-nya ini Klenger Burger. Kerja keras Velly berhasil. Klenger Burger berhasil membuat pembelinya klenger (lupa diri). Dari satu outlet yang dibuka pertama kali pada Februari 2006, kini Klenger Burger sudah berkembang menjadi 26 outlet yang tersebar dari kawasan Jabodetabek hingga Bali. Pesatnya pertumbuhan bisnis Velly ini karena ia memakai sistem franchise, "Saya ingin menciptakan kerja sama usaha dengan sebanyak mungkin orang," ujarnya beralasan. Velly menawarkan paket Rp 85 juta sampai Rp 100 juta yang berupa bangunan outlet (kedai), freezer, mini-komputer, seragam karyawan, serta bahan-bahan awal berdagang. Harga ini sudah termasuk franchise fee.

Annie Baskoro (38), Franchisor Taman Sari Royal Heritage Spa
Taman Sari Royal Heritage Spa adalah bagian dari bidang usaha PT Mustika ratu Tbk. "Kami menerapkan perawatan asli Indonesia yang dikombinasikan alat-alat modern, seperti terapi oksigen dan ozone therapy," ungkap wanita yang memegang posisi Spa Director ini. Usaha perawatan kesehatan dan kecantikan ala keraton agar bisa dinikmati masyarakat umum, ini sebenarnya sudah berdiri di tahun 1996. Baru sejak tahun 2001 mulai menjual franchise. Kini, Taman Sari telah memiliki sejumlah franchise di dalam negeri, seperti di Anyer, Garut, Palembang, Riau dan Bintan. Sementara, di luar negeri terdapat di Malaysia, Jepang, Kanada, Republik Chezh dan Bulgaria. Karena tersebar di berbagai Negara, Annie mengaku harus fleksibel dalam menjalankan usahanya. "Kami bisa mengerti, kok, kalau orang Jepang misalnya, menolak desain interior spa dengan hiasan ukiran yang berat," Annie, memberi contoh.

Fransiska Stefanie (37), Franchisee Alfamart
Fanie, demikian ia dipanggil, adalah contoh ketekunan seorang ibu dalam memperbaiki pendapatan keluarganya. Ketika ‘dirumahkan’ karena kantornya terimbas krisis moneter 1998 lalu, Fanie nekat memakai pesangonnya untuk membuka usaha wartel di rumahnya. Usaha wartel yang juga menjual minuman dingin dan penganan kecil ternyata berjalan lancar. Karena ingin mengembangkan usahanya itu, Fanie tertarik membeli franchisee minimarket Alfamart. "Waktu itu di sekitar perumahan saya belum ada minimarket," ujar wanita yang tinggal di kawasan Pondok Jaya, Bintaro, Jakarta ini. Pada Maret 2005, Alfamart miliknya resmi beroperasi. Nasib baik memang terus menghampirinya. Alfamart miliknya sukses besar, sehingga hanya dalam waktu 17 bulan, ia mampu melunasi pembelian hak franchisee yang sebesar Rp300 juta. Kini, dalam sebulan, Fanie bisa mengantongi keuntungan hingga Rp20 juta.

Mayadewi Hartorto (38), Franchisee Sekolah Mode Esmod
Sebelas tahun lalu, tepatnya pada 6 september 1996, Maya mengambil waralaba sekolah mode Ecole Superieure des Arts et Techniques de la Mode (Esmod). "Saat itu, saya ingin menghasilkan tenaga siap pakai dalam industri mode tanah air yang sedang bagus-bagusnya," ujar lulusan Pine Collage, Boston, Amerika Serikat di bidang manajemen ini. Maya mengakui, biaya yang ia keluarkan ketika mengambil franchise ini memang lumayan besar. "Namun, keuntungannya juga sangat besar, karena selain sudah mempunyai nama besar dan pengalaman di bidang pendidikan mode, kualitasnya terjamin dengan dukungan manajemen operasional dari pusatnya di Paris," imbuhnya. Kini, Esmod yang digawangi 7 guru dari Indonesia dan 2 guru dari Paris ini sudah menghasilkan 650 lulusan yang mampu mandiri. "Karena izin franchise sudah di tangan, saya berencana membuka cabang Esmod di seluruh Indonesia," katanya, yakin.